Scenario : Yohanes Soekarno Gugat (almarhum)
Editing : Leonardus Adityo
Sinopsis
Diawali dengan olah gerak dengan formasi bunga lotus. Tepat ditenganhnya duduk seorang pertapa, dalam kesederhanaan, kesahajaan yang membumi. Mencoba mempertahankan keberadaanya denga menahan dirim dari locatan jaman yang melesat begitu cepat. Entah sadar maupun tidak seolah dipkasa untuk menerima kenyataan, penjungkir balikan tata nilai kehidupan. Bersandar dibenteng rohani sebagai tumpuan berlindung, teryata harus menerima satu kenyataan manakala bersentuhan dengan persoalan perut.
Permunculan kedua, sekelompok barisan yang menyiratkan keperkasaan, unjuk kekuatan, penguasa, tamak dan ambisius, terangkum dalam tata gerak formasi matahari. Beringas liar, pantang terhalang apapun, sanggup menjarah apa saja yang ada di hadapannya. Dan jari telunjuknya bagai firman yang harus dipenuhi.
Sampailah pada puncak kejenuhan yang kritis, dimana melahirkan tingkat kesadaran yang sangat dalam. Kerinduannya pada kepasrahan, memunculkan kebimbangan untuk pulang pada sang pencipta. Dicarinya tuhan dari berbagai arah.
Kemudian penyucian diri menuju kesejatian hakiki, dengan mau dilahirkan kembali sebagai manusia baru.
Hadirlah sang terang masuk menyelinap dicelah celah hari bagi mereka ygang mau merima penawaran allah, sebagai perwujudan cinta kasih allah kepada manusia dan persoalan telah menjadi lain, manakala kita berkehendak menciptakan tuhan lain menurut selera sendiri.
Ra,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ra,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,
Disana matahari bergantung dipilar awan
Cahayanya merah merona
Lidahnya terjulur marah
Terikat kesetiaan pada pengabdiannya pada sang cipta
Meratap memedam duka
Gemeretak menahan air mata.
Dibawah sang pongah semakin asik menarik
Tarian srigala dipadang meranggas
Ditimang denting ambisi, mengirama kerakusan
Melangkah menuju peradaban
Membusung dada menebar luka
Ra,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ra,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,ra,,,,,,,,,,,,,,,,,
Panas matahari ada di tiap hati
Hanguskan penghalang yang tak seirama
Lihatlah sang pongah berlari
Mengepalkan tangan mengebiri nurani
Pontang panting terbirit para minoritas
Mencari lubang penyelamat diri
Terror mengganas dilubang jala melebar
Tiap detik nyawa melayang
Tiap detik tawa puas terlepas
Mungkinkah firman sedang bicara
Atau Tuhan telah berbalik arah
Meninggalkan kita yang bangga menyandang dosa
Jungkir balik hakekat penciptaan.
Adegan satu
(musik menghentak, kembali pada keheningan dengan sentuhan latar belakang)
seseorang bergerak memasuki panggung perlahan, menuju tepat ditengah kemudian duduk bersila, semedi, bertapa, diam.
Adegan dua
Muncul satu kelompok barisan dari arah posisi panggung sebelah kiri, bergerak berlari bergandengan tangan dengan melingkari sang pertapa.
Sesaat muncul satu kelompok barisan dari arah posisi panggung sebelah kiri, bergerak berlari bergandengan tangan dengan melingkari sang pertapa.
Adegan dua
(musik menghentak, kembali pada keheningan dengan sentuhan latar belakang)
Sesaat muncul satu kelompok barisan lain dari posisi panggung sebelah kanan dengan jumlah lebih banyak, bergerak, berlari bergandengan tangan memutari sang pertapa dengan arah kebalikan dari kelompok pertama
Terhitung beberapa putaran dengan ritme semakin lama semakin cepat, kemudian berhenti. Bergandengan tangan di lepas. Tangan bergerak keatas kepala jari di getarkan (kecak). Perhatikan posisi berdiri agar tak terjadi saling berbenturan.
Turun secara perlahan duduk di lantai bersila dengan tangan tetap bergetar. Pada hitungan tertentu baris lingkaran pertama membentuk komposisi bunyi dengan menghentakkan tangan ke lantai. Disusul barisan kedua melakukan hal yang sama seperti kelompok pertama, secara bergantian dengan memperhatikan hitungan, satu,,,,,,,,,, satu,,,,,,,,,,, dua,,,,,,,,,,, dua,,,,,,,,,,, bersama sama.
Posisi gerak berubah, julurkan kaki lurus kedepan bersamaan rebahkan badan ke lantai, tangan lurus di atas kepala.
Bergulung sekali berganti posisi, tarik telapak kaki kedalam dengan menekuk lutut kemudian hentakan dengan penuh perasaan. Hal yang sama dilakukan barisan kedua secara bergantian, satu,,,,,,,,,, satu,,,,,,,,,,, dua,,,,,,,,,,, dua,,,,,,,,,,, bersama sama.
Luruskan kaki dengan kondisi badan tetap terlentang dan tangan lurus diatas kepala, lakukan bergulung sekali dengan posisi tengkurep.
Adegan tiga
(musik menghentak, kembali pada keheningan dengan sentuhan latar belakang)
(Berjatuhan kwali tanah liat yang berisi beras dari atap)
Pertapa bangkit dari tempat duduknya,
(melangkah perlahan menuju bibir panggung sebelah kanan, bernarasi)
Paduan suara (bahasa jawa)
Jagade….. jagade….. jagade bubrah
(dunianya,,,,, dunianya,,,,,, dunianya berubah)
Manungsa……. Manungsa……. Manugsane goyah
(Manusia,,,,,,, manusia,,,,,,, manusianya getar)
……………………………………………………..( 3 X )
Adegan empat
Pertapa
Firdaus…… firdaus…… firdaus…… firdaus……. Ternoda
Retak retak tanah memerah darah dengus keberingasan memacu angan
Memanjangi garis kehidupan
Tawa keakuan melambungkan congkak
Surga berada di kantong kantong penjajah
Terus berlari membangun ambisi
Habisi tiap jengkal tanpa makna
Bagai kompetisi tanpa aturan.
Duh sang hyang widhi akarya jagad (bahasa sangsekerta)
(Duh tuhan yang menguasai dunia)
niatku berdoa
doaku, doa anak jaman
ditelanjangi kemajuan, dipeluk kehampaan
dibuai kenistaan…………..
menangis, tertawa, mengiba, ratap ratap
tajam tatap mata merah bagai serigala lapar
siap menerkam apa saja penuh kebencian
Adegan lima
(musik menghentak, kembali pada keheningan dengan sentuhan latar belakang)
sekelompok barisan bergerak memasuki panggung, berjalan berirama dalam panduan paduan suara. Tangan berada dipinggang teman yang ada didepannya, berbaris urut kebelakang. Diawali dari kaki kanan atau kiri secara kompak bip…. bop… bip…. bop…
barisan menuju memasuki panggung melalui tangga yang dibangun dengan komposisi pemain
berlari memutar, sampai seluruh pemain memasuki keutuhan barisan atur posisi agar tidak berdesakan.
Barisan memendek saling bersentuhan ( beradu badan) dengan mengambil urutan personil paling tinggi ada di urutan depan
(Ilustrasi musik mulai merubah suasana)
barisan mulai membangun gerak matahari, menghitung tiap gerak dengan improvisasi untuk mengimbangi lawan main didepan
Adegan enam
(Ilustrasi musik dengan smash tertentu)
Memunculkan kursi tergantung dalam panggung dengan ketinggian tidak teraih tangan.
Seluruh pemain terhentak mengarahkan wajahnya ke obyek kursi. Ekpresi beringas, lemah bergerak maju.
Usaha dekati kursi dengan saling mendahului, tanpa memunculkan kesan cepat. Perhatikan antara keinginan dan kekuatan badan tak berimbang, tetapi terus berusaha.
Sampai di kursi saling berebut untuk memperoleh kursi dinamiskan gerak agar tidak kelihatan monoton dengan berebut, menyodok, melotot, meraih dan jatuh berulang-ulang
Menyerah dan kalah, pasrah dengan merebahkan badan kelantai tak berdaya….. hening…. sunyi….
Adegan tujuh
(Ilustrasi musik mulai merubah suasana)
Kebersamaan telah berubah wajah
Naluri sang manusia telah jadi pemangsa
Muram matahari menyapa
Petaka peradaban mulai menggeliat
Terekayasa tipu-tipu menjanjikan
Benarkah kekuatan identik kekusaan
Tiada peduli terbangun digenang darah
Surga bukan dongeng angan
Mungkin saja babil menampakkan aroma
Dan kita berlomba menyelam di kegelapan
Habis napas terkapar, menggelepar, pasrah
Menunggu kemudian ujud keadilan
Berusaha bangkit dari kenistaan
Nanar mata memerah berkaca
Mengiba….. memelas……. Merindu kekuatan
Adakah karma sedang bicara
Atau, benarkah allah biarkan kita terbuang
Benarkah……
(Empat orang memasuki panggung gulungan layer yang telah dipersiapkan diawal pementasan)
Layar ditarik merentang menutupi seluruh pemain yang rebah di lantai
Layar digerak gerakkan menyerupai gelombang ombak, dengan semakin lama semakin cepat
Gelombang perlahan berhenti
Para pemain mulai dengan gerakan meninju ke layer secara bergantian, mulai dari pelan kemudian kemudian semakin cepat.
Aksi gerakan kemudian berhenti, hening, sunyi
(musik mengalun lamban memanjang)
Suara allah (bahasa jawa)
menawa ana wong kanga rep ngetutu mburi aku,
nyingkura marang awake dewe, sarta sadina dina ngangkata salibe lan melu aku.
Amarga sopo wong kang kudu ngereksa nyawane,
Bakal kelangan nyawane. Ananging sapa kang kelangan nyawane karana aku iku kang bakal ngerksa. Paedahe apa ta marang wong yen oleh kas kaya sajagad kabeh, mangka tiwas kelangan utawa kutnan awa dewe. Dene sapa sing isin karana aku lan pituturku, putrane manungsa iya bakal lingsem karana wong iku.
Besuk sarawuhe ngagem kamulyane piyambak lan kamulyane sang rama tuwin para malaikat suci ananging satemenen pituturku ing kowe, wong kang pda ngadeg anan ing kenen iki, ana sawaneh kang bakal ora ngrasakake ing pati menawa during weruh ing keratone allah
Adegan delapan
Gerakan kelahiran memulai dengan berusaha merobek layar plastik. Dengan masing – masing di posisinya usahakan berolah karakter, selaput yang menutupi seolah sulit terobek.
Bangun perlahan lahan menengadah langit mencari sesuatu kemudian menunduk memandangi bumi, dan menengadah lagi
Paduan suara (bahasa jawa)
duh gusti, aduh gusti,,,,,,,
nyuwon ngapura dosa kula
kang lumaku ninggal sukma
tansah ngoyak ajining, ajining raga
duh gusti, aduh gusti,,,,,,,,
tinebihna goda pacoba
niat ingsun nderek kang putra
manggul salib tekan golgota.
(Musik mengalun pelan)
Seluruh pemain memanggil manggil bapa….. bapa….. bapa…..
Hai sang terang dimana kau….. sang terang……
Sang terang dimana kau…… (berjalan keluar panggung)
Posting Komentar